Surban Keramat #Part1 (Karomah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Al-Anfanany Al-Masyhur)

NW Online | Senin, 10 Juni 2019 20:00

Beliau bercerita, tentang belajarnya. Cerita ini bukan belajarnya di Indonesia, tetapi belajar di Makkah, saat itu sang bunda menemaninya belajar sambil wirid di rumah kontrakan sehabis shalat. Belajar itu biasanya dilakukan sehabis shalat malam sekitar pukul 02:00 dan berakhir menjelang fajar, subuh. Beliau tidur malam sekitar dua jam. Sang ibu menemani putranya tersebut belajar pada waktu larut malam itu. Sang ibu tidak duduk di dekat putranya melainkan ibadah, duduk berzikir, berwirid di ruang terpisah namun masih dapat memantau putranya.

Beliau belajar dalam posisi duduk bersila menghadap kiblat. Belajar diterangi lampu pelita minyak tanah di dekatnya. Untuk mendapatkan kenyamanan dalam kepenatan yang nikmat itu beliau sesekali mengubah posisi duduknya. Secara bergantian yang kanan dan kiri memegang kitab dan posisi badan kadang condong ke kiri kadang ke kanan. Dalam suasana khusyuk belajar tersebut, tiba-tiba Zainuddin, pelajar remaja seumur anak kelas tiga SMA itu mencium aroma sesuatu yang  terbakar.

            “Inaq, ape motong mambune?,” Tanya Zainuddin.

            [Ibu, baunya seperti ada yang terbakar].

Sang ibu pun terhentak, bangun dan bergegas ke dapur untuk memeriksa jika saja lupa mematikan kompor.

            “Nderek, anakku,” jawab sang Ibu dari dapur.

            [tidak ada]

            Zainuddin pun melanjutkan belajar.

Beberapa jenak kemudian Zainuddin berteriak lagi dalam belajarnya yang tak putus itu.

            “Inaq, ape gene motong tini pawon membune mne.”

            [Ibu… mungkin ada yang terbakar di dapur, baunya keras sekali, ini].

Sang ibu pun bergegas lagi ke dapur. Tidak juga dijumpainya suatu apapun yang terbakar. Dibukanya kamar lain, diperiksanya sudut-sudut ruang, diperiksanya halamn belakang. Nihil. Tidak ada yang terbakar.saat kembali berniat kembali menuju tempat belajar anaknya didengarnya lagi teriakan ketiga: “ape motong keras ape mambune?” [apa yang gosong, keras sekali baunya]. Dalam kebingungan yang nyaris itu sang Ibu lansung menuju kamar anaknya dan….

            ….betapa terperanjatnya Sang Ibu….

            “Anakkuuuu…. Motong sorban-meeeq, anakkuuuu…. Motong sorban-meeeq!!!!, teriak agak tertahan.

            [anakku sorbanmu terbakar, anakku sorbanmu terbakar].

Dengan sigap dan refleks Maulana membuang sorban itu dan memadamkan api yang membakar sorbannya. Dalam bau gosong akibat asap hitam pembakaran perapian lampu minyak tanah itu, ibu dan anak itupun diam sejenak sambil membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Sang ibu memikirkan anaknya yang mungkin saja terbakar jika tidak segera diketahui sumber apinya. Juga dipikirkannya akibat kebakaran kecil itu bisa membuat kampung tempat kosannya juga terbakar hebat. Sang ibu memeluk putranya dalam sedih dan berbaur haru.

Beliau pun lanjut belajar dan belajar. Beliau bukan hanya belajar dan khusyuk belajar, namun juga dengan memperhatikan adab belajar, etika belajar. Beliau, hampir selalu belajar dengan menggunakan pakaian lengkap. Lengkap dengan sorbannya. Saat belajar yang asyik itulah ujung sorbannya menyentuh ujung panas cerobong lampu templok minyak tanah dan membakar sorban itu secara perlahan. Sorban itu terbakar. Sepertiganya tak terselamatkan. Sorban itu member kesaksian betapa asyiknya pemilik sorban itu belajar.

Lanjutan cerita beliau di #Part2

Memberikan informasi akurat dengan gaya penulisan kekinian

Baca ini yuk