Ruhiyah Wathaniyah TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid

Dalam salah satu bukunya, Gus Mus pernah berpendapat mengenai kosakata pahlawan. Menurut beliau, pahlawan adalah sebutan bagi mereka yang banyak melakukan perkara yang berpahala sebagaimana sebutan dermawan bagi mereka yang gemar berderma; sebutan wartawan bagi mereka pencari warta; dan lain sebagainya.
Menyinggung soal pahlawan, tahun 2017 lalu, Presiden Joko Widodo menganugerahi TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid sebagai pahlawan nasional. Penyematan gelar ini bukan tanpa alasan, pertimbangan matang, dan kajian yang panjang. Putra asli Sasak kelahiran Pancor, Lombok Timur itu memang pantas menerimanya. Mengingat, kiprah dan jasa beliau terhadap pembangunan peradaban di Nusa Tenggara Barat tidak bisa diragukan lagi.
TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid lahir 41 tahun sebelum Indonesia merdeka. Beliau merupakan pejuang kemerdekaan. Melalui pesantren al-Mujahidin yang beliau dirikan sepulangnya menuntut ilmu di tanah suci Mekah, beliau mengumpulkan kekuatan di sana. Mengkader para santri untuk syahid membela negara. Mengatur siasat menyerang markas tentara NICA di Selong. Pada penyerangan itulah, adik kandung beliau, TGH. Faishal gugur menjadi syuhada.
Selanjutnya, dari benih pesantren al-Mujahidin yang masih menggunakan sistem halaqah itu, beliau lalu mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI) dengan sistem pengajaran yang lebih modern. Selang beberapa tahun, beliau juga mendirikan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiah (NBDI) khusus untuk perempuan yang kemudian hari lahirnya bertepatan dengan hari Kartini.
Dari waktu ke waktu, jumlah madrasah yang terbangun mengalami peningkatan. Tercatat, rastusan madrasah yang tersebar merata di seluruh wilayah Lombok berhasil menyelenggarakan pendidikan, baik formal maupun nonformal. Bahkan dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi. Maka, untuk mengakomodir seluruh madrasah yang ada, beliau kemudian mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Nahdlatul Wathan (NW) pada tanggal 1 Maret 1953. Nahdlatul Wathan sendiri memiliki arti secata harfiah: “gerakan tanah air.”
Pada mulanya, organisasi yang didirikan oleh Syeikh Zainuddin (sebutan umum dari TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid) akan diberi nama Nahdlat al-Din al-Islam li al-Wathan atau Nahdlat al-Islam li al-Wathan atas usulan guru besar beliau, Maulana Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath. Dari penamaan ini, dapat memberi kita gambaran bahwa ada visi strategis yang hendak dibangun, yakni adanya relasi antara agama dan negara secara simbiosis mutualisme. Negara sebagai sebuah institusi memerlukan agama sebagai basis moral untuk membangun peradaban suatu negara. Sementara, agama sukar untuk berfungsi maksimal tanpa ada dukungan dari negara.
Akan tetapi, Syeikh Zainuddin berijtihad sendiri. Organisasi yang beliau bentuk tersebut diberi nama Nahdlatul Wathan. Beliau meyakini, nama ini lebih sesuai dengan latar belakang sosio-historis masyarakat Sasak-Lombok dan Indonesia pada umumnya pada saat itu.
Menurut Kyai Hamzanwadi (sebutan lain TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid), penyebutan istilah Nahdlatul Wathan mengandung dua makna filosofis: membangun agama dan negara. Antara agama dan negara diposisikan sama pada satu helaan napas. Artinya: membangun agama berarti membangun negara. Begitupun sebaliknya, membangun negara sama halnya dengan menegakkan agama.
Dengan demikian, Nahdlatul Wathan merupakan organisasi yang memiliki visi keagamaan dan kebangsaan. Dengan kata lain, Syeikh Zainuddin ingin mengajarkan kepada generasi penerusnya bentuk ruhiyah (pergerakan) wathaniyah pada kehidupan beragama, berbangsa, juga bernegara dalam konteks keindonesian. Sehingga, sudah selayak dan sepatutnya beliau dianugerahi gelar pahlawan

Memberikan informasi akurat dengan gaya penulisan kekinian

Baca ini yuk