Home » Pelantikan Sulthanul Auliya’ (1)

Pelantikan Sulthanul Auliya’ (1)

news Februari 26, 2019

SYAHADAH CINTA YANG TERPENDAM

(1)

Catatan Jumrah alias TGH. Fathurrahman tentang pelantikan Maulana al-Syaikh sebagai Sulthanul Auliya’:

بِسْمِ اللّٰهِ وَبِحَمْدِه

اَللّٰهُمَّ اَصْلِحْ اُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, وَفَرِّجْ عَنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ, وَارْحَمْ اُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, وَانْشُرْ وَاحْفَظْ وَاَيِّدْ نَهْضَةَ الْوَطَنِ فِى الْعَالَمِيْنَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Duhai Allah, perbaikilah ummat Muhammad saw., mudahkan segala urusan ummat Muhammad saw., kasihilah ummat Muhammad saw., sebarkanlah dan jagalah serta kuatkanlah Nahdlatul Wathan di alam raya dengan kebesaran Nabi Muhammad saw.

Dengan mengharap ridla dan magfirah Allah swt. saya mencoba menyusun sedikit pengalaman saya selama mengenal nama NW.

Pada tahun 1957 saya memasuki pendidikan Nahdlatul Wathan (NW) yakni masuk di kelas IV Ibtidaiyah NW Pancor. Saat itu Ibtidaiyah berkelas sampai kelas lima (lima tahun). Saat itu keluar peraturan baru, yakni mulai dibukanya Tsanawiyah enam tahun maka kami yang telah berada di kelas lima Ibtidaiyah langsung menjadi murid kelas satu Tsanawiyah. Setelah saya berada di kelas tiga Tsanawiyah terbentuklah organisasi pelajar IPNW (Ikatan Pelajar NW). Pada saat itu tercetus perasaan kami untuk membentuk ikatan pelajar kedaerahan, terbentuklah Persatuan Pelajar Lombok Tengah (PPLT).

Kami mengumpulkan teman-teman yang bertebaran di madrasah NW di Pancor, baik murid di PGA, Tsanawiyah, Muallimin dan Takhassus Syari’ah. Kami mendapatkan anggota sebanyak ± 200 orang. Saat terbentuknya pengurus PPLT saya dipercayakan sebagai ketuanya. Pada saat itu telinga kami sudah penuh dengan ocehan yang ditujukan kepada Tsanawiyah NW, misalnya dengan ucapan Tsanawiyah kolot, Tsanawiyah berterompa dan lain-lain.

Suatu hari kami murid Tsanawiyah dan PPLT menghadap kepada Bapak Maulana al-Syaikh untuk memohon izin membentuk klub olahraga volly, tenis meja, bulu tangkis dan sepak bola, dan mengadakan kursus-kursus seperti kursus tabligh, mengetik, dan kursus fotografi. Dengan berkat kegiatan ini khusus murid Tsanawiyah sudah mulai menggunakan celana. Mereka sudah mulai menggunakan sandal dan sebagian sudah mulai menggunakan sepatu. Alhamdulilah semua yang kami jalani disetujui oleh Bapak Maulana al-Syaikh. Beliau sangat menghargai usaha dan hasil kerja keras kami. Bahkan beliau sering menyempatkan diri menyaksikan kami berlatih berolahraga.

Saat matur (melapor) tentang olah raga itu beliau sangat setuju dan senang sekali. “Lamun méq betanding mudahan méq menang,” doa beliau. Rupanya saat ijabah, saat itu madrasah Tsanawiyah menjadi juara bola volley se-Lombok Timur. Kemenangan di cabang volley itu, terutama atas jasa Husen Jantuk, juru smash Lombok Timur. Tukang over terbaik kami adalah dari Rembige Lombok Barat.

Di samping latihan pramuka dan olah raga saya selalu menyempatkan diri mengabdi di gedeng (rumah) Bapak Maulana al-Syaikh yakni di gedeng madrasah. Pada saat itu gedeng madrasah sangat sederhana. Setengah bangunannya jadi gedeng dan setengah bangunan lainnya menjadi mushalla tempat para santri menimba ilmu pagi siang sore malam.

Saya adalah seorang murid yang tidak menonjol pada bidang ilmu maupun pada bidang amalan (ibadah), maka saya menyempatkan diri untuk menjadi tukang bersih halaman, mempersiapkan alat-alat sholat maupun tempat pengajian. Kalau malam hari saya sering diperintah oleh Bapak Maulana al-Syaikh untuk berjaga malam bersama seorang yang dipercaya bernama Amaq Sue’ Bermi. Di samping itu saya dipercaya menjaga putri Bapak Maulana al-Syaikh yakni Siti Rauhun bersama pamannya Muhammad Shaleh. Di samping itu kadang-kadang diminta oleh Ummi Hajjah Adniyah untuk mengerjakan pekerjaan dapur, seperti mengupas dan memarut kelapa, serta menyiapkan makanan ayam. Sang Ummi sangat rajin memelihara ayam.

Setelah berada di kelas enam Tsanawiyah saya dipanggil oleh Bapak Maulana al-Syaikh bersama salah seorang teman yang dahulunya bernama Ahmad Mustafa dari Paok Tawah Praya.

Bapak Maulana al-Syaikh ngandika (berkata): “ante siq due sine méq lalo aning Malang, ito taoq méq pade kuliah léq IAIN Malang. [kamu berdua berangkat ke Malang, di sana kamu kuliah di IAIN Malang].

Dengan serba kebodohan saya, tiba-tiba nyeletuk dari mulut saya tanpa disadari: “Bapak Maulana al-Syaikh, kami niki belum tamat. [kami belum tamat].

Jawab Bapak Maulana al-Syaikh: “Alur so dekekq ndéq méq man tamat. Aluh klekang aku penulis atao sekretaris Tsanawiyah, suruk ie beketéq.”

[Biarkan sekalipun belum tamat, panggilkan sekretaris madrasah, suruh datang ke sini].

Sekretaris Tsanawiyah kebetulan bernama Zainuddin.

“Zainuddin, pina’ang kanak si due ine ijazah Tsanawiyah, genne lalo kuliah aneng Malang. Suru’ ustadz méq Haji Afifudin Adnan nékén ie atas nama PB NW bagian pendidikan,” perintah Bapak Maulana al-Syaikh.

[Zainuddin buatkan dua anak ini ijazah Tsanawiyah, mereka mau berangkat ke Malang. Minta Ustadzmu Haji Afif menanda-tangani ijazah atas nama PBNW bagian pendidikan].

Setelah kami menyerahkan pas foto, besok paginya ijazah kami sudah jadi.

Singkat cerita, berangkatlah kami meninggalkan Pancor setelah memohon diri pada Bapak Maulana al-Syaikh. Itu setelah kami berkhidmat di sana selama tujuh tahun. Kami langsung bersiap-siap melaksanakan perintah Maulana menuju Malang. Di sana kami ditampung di Asrama Lombok yang memang sudah lama berdiri megah. Tempatnya di Talun Kulon 1311 Malang Jawa Timur. Memang masa pendaftaran belum dibuka, namun karena karamah Maulana yang mengetahui kekurangan kami dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris kami diminta kursus selama tiga bulan. Lalu kami mengikuti tes ujian masuk dan alhamdulillah dinyatakan lulus.

Kami mulai kuliah di gedung baru IAIN di Dinoyo. Namun sayang seribu sayang dimakan mabuk dibuang sayang. Perkuliahan tidak bisa berlangsung karena gerakan PKI 30 September 1965. PKI melancarkan aktivitasnya, terutama di kota Malang yang terkenal sebagai basis PKI. Kami anak-anak penghuni asrama Lombok terpaksa bubar. Tidak ada makanan. Kami hanya diberi makan jagung. Sebagian kami termasuk saya pulang ke Lombok lalu melanjutkan kuliah ke IAIN Mataram. Tidak berjalan lama kemudian kandas karena ketiadaan biaya. Cuma ada catatan penting di saat kami berada di Mataram. Kami bertemu dengan teman Himmah NW dan belajar berorganisasi. Kami juga bergotong royong membantu mengangkut pasir, batu, untuk membantu pembangunan gedung Perguruan Nahdlatul Wathan (NW) Mataram.

Setelah kembali ke rumah, saya berangkat ke Pancor untuk menghadap Bapak Maulana al-Syaikh dengan maksud untuk mohon izin mendirikan madrasah di tempat kelahiran saya. Tegas beliau: “Ndek méq tao ngajarang léq bale méq, ndéqne araq bareng méq ’.” [kamu tidak bisa (belum waktunya) mengajar di kampungmu, kawanmu tidak ada]. Selang beberapa lama, tepatnya pada tahun 1968 saya dipanggil Bapak Maulana al-Syaikh. Saya diminta oleh beliau mendirikan madrasah di Pengenem, kampung TGH. Taisir Khalidi sebagai cikal bakal Pondok Pesantren Kholidy NW yang sekarang. Setelah setahun berjalan kemudian, saya dipanggil lagi oleh Bapak Maulana al-Syaikh dan diperintahkan lagi membuka madrasah di Lendang Kekah (d.h. Lendang Kekeh) pada tahun 1969, sebagai cikal bakal ponpes Ishlahul Ummah NW Lendang Kekah saat ini.

Empat tahun kemudian saya diminta membuka MI NW di Dusun Punikasih Desa Mas Mas tepatnya pada tahun 1973 sampai tahun 1979 (tujuh tahun). Madrasah Ibtidaiyah tersebut langsung diresmikan oleh Bapak Maulana al-Syaikh. Dua bulan berjalan saya mengajar di Punikasih pulang-pergi dari Teratak ke Punikasih, dengan jarak tempuh tiga kilometer. Bukan itu masalahnya, saya menghadap atau parek kepada Bapak Maulana al-Syaikh, beliau bertanya,

“Tepu ante léq Punikasih sino?”

[apa kamu tinggal di Punikasih?]

“Ampure (maaf) Bapak Maulana al-Syaikh, tiang uléq lalo ie rapet”

[saya pulang pergi karena dekat].

“Taoq ku si rapet, laguq méq jauq anak senineq-méq, buk méq tepu ito kenangku.”

[aku tahu itu dekat, tetapi sebaiknya kamu juga membawa anak istrimu tinggal di sana].

Setelah mohon doa, kemudian saya pamit. Sejak itu saya boyongan dengan istri dan anak.

Saat itu guru belum ada. Hanya saya berdua dengan istri yang kebetulan tamatan Muallimat NW Pancor. Setelah setahun berjalan saya dipanggil lagi oleh Bapak Maulana al-Syaikh.

“Jumrah, ndéq te tao ngajarang léq kanak beciq doang tengajarang léq dengan toaq endah. Sampik méq néjak dengan berhizib.

[Jumrah, tidak cukup kita hanya mengajar anak-anak saja, tetapi sebaiknya mengajar orang-orang tua kampung, sembari mengajak mereka berhizib].

Setelah memohon doa saya pamit. Sejak saat itu saya mulai mengajak orang berhizib dan pada awalnya hanya beranggotakan lima orang saja.

Saya mencoba membuka majlis taklim, mencoba menjalankan perintah Bapak Maulana al-Syaikh. Namun demikian tidak semua masyarakat antusias. Masyarakat yang mau menerima majlis taklim bukan masyarakat Punikasih namun masyarakat luar Punikasih, tepatnya dusun Gubuk Gunung Langga Lawe.

Dengan berkat keramat Maulana al-Syaikh maka tidak lama kemudian majlis ta’lim menjadi ramai dan berjalan selama tujuh tahun di Punikasih. Saya – alhamdulillah – mampu mengelola 11 majlis taklim di berbagai tempat. Disamping itu hampir setiap tahun saya diajak oleh jamaah haji untuk berziarah kepada Bapak Maulana al-Syaikh.

Selama enam tahun berturut-turut saya membawa jamaah untuk berziarah. Suatu musim haji saya dipanggil menghadap Bapak Maulana al-Syaikh, saat itu beliau ngandika:

“Jumrah, ante tiap taun méq jauq jamaah haji beketéq ziarah nunas doa, bekan ante ndéq méq ulak nunas doa, ndéq méq melet kéé lalo haji?” [Jumrah, kamu setiap tahun membawa jamaah meminta doa dan berziarah kemari, tetapi mengapa kamu sendiri tidak meminta didoakan. Apa kamu tidak ingin pergi haji?]

Saya menjawab dengan tersipu-sipu,” melét tiang Maulana al-Syaikh laguq ndéq ne araq képéng tiang.” [kepingin saya, Maulana, tetapi saya tidak memiliki uang].

“Ooo, mne araq képéngku kunyadéq ante siq méq lalo belayar,” [ooh, ini ada uang, saya berikan untuk biaya naik haji].

Saya diberikan selembar uang kertas sebesar 500 rupiah. Dengan segala khidmat dan takzim saya menerima uang tersebut. Saya langsung mencium uang tersebut dan meletakkan di atas kepala saya. Saya terus memegangnya sambil menunduk diam. Bapak Maulana al-Syaikh berkata,

“Mbah kan méq nunduk.”

[Loh, kok kamu menunduk?].

Lalu dengan kebodohan saya, saya menjawab: “Tiang apakan uang ini?”

“Mbee, sang bodo-méq teusahayang ie agenne bau jari setambangan.” [loh, kok bodoh sekali, kamu upayakan agar bisa mendapatkan setambangan (ongkos cukup) untuk naik haji].

Saya semakin bingung dan bodoh kala itu.

Saya berkata: saya tidak bisa berusaha karena saya hanya mengikuti perintah plungguh (Maulana) untuk terus mengajar.”

Jawab Maulana: “Oo mune ngeno, méq usaha gabah sambil méq ngajarang. Dait ante uléq lekan Punikasih sino, Méq lalo haji juluk. Dait ndéq ne paut dengan ngajarang léq umum mun ndéq méq man haji. Be kedue uléq ante nunggu inaq amaq-méq ito léq bale méq. Nunggalang ante mbilin inaq amaq-méq wah toaq.” [Kalau begitu, kamu harus berniaga gabah sambil mengajar. Kamu juga harus pulang dari Punikasih, untuk persiapan ibadah haji. Tidak patut memberi pengajian umum sebelum menunaikan ibadah haji. Yang kedua, kamu juga sebaiknya pulang merawat orang tuamu di rumah. Selama ini kamu meninggalkannya, sementara itu mereka sudah tua/sepuh].

Inilah kalimat yang penuh misteri.

Saya tidak bisa menjawab. Saya hanya berujar enggih saja dan nunas (mohon) doa. Lalu saya ingat, kalau saya meninggalkan Punikasih dan disuruh pulang siapa yang akan menggantikan saya mengajar dan memelihara madrasah itu, sedangkan waktu itu belum ada yang tamat. Rupanya, perasaan bimbang itu telah dimaklumi oleh Maulana al-Syaikh. Beliau langsung memerintahkan untuk memanggil seseorang bernama Wahyudin Jariah yang berasal dari Selusuh Mas Mas, berdekatan dengan Punikasih. Saya kemudian membawanya menghadap kepada Bapak Maulana al-Syaikh.

Bapak Maulana ngandika (berkata): “Wahyudin uléq ante, genne uléq loq Jumrah siné. Gentiq ie ngajarang léq MI NW Punikasih, ie genne uléq mersiapang diriq-ne gen lalo Haji. [Wahyudin, pulanglah, Si Jumrah akan kembali ke kampungnya. Gantikan ia mengajar di MI NW Punikasih, ia akan menyiapkan dirinya menunaikan ibadah haji].

Wahyudin menjawab, “Tiang nunas izin Maulana al-Syaikh, tiang nunas mustami’ setauun doang.” [Mohon izin Maulana, mohon izin untuk menjadi mustami’ (mengaji) setahun lagi].

Jawab Maulana: “Ndek, uléq doang ito, ble’an pahala-méq uléq ngajarang, bareng méq mustami’ ité kenangku.” [Tidak, pulang saja sudah, lebih besar pahalamu mengajar dibandingkan dengan mengaji. Itu maksudku]. Kami lalu memohon doa dan pamit.

Berhaji

Sesampai di Punikasih, saya memberitahukan masyarakat bahwa saya harus pulang. Pada malam yang telah ditentukan saya pulang kampung diantar/diiringi oleh masyarakat banyak. Mereka mengantarkan saya baik laki -perempuan, tua-muda sambil membawa obor. Seperti halnya rombongan orang pawai obor. Karena begitu ramainya jemaah yang mengantar, masyarakat kampung yang kami lewati kaget; ada apa ini orang ramai-ramai membawa obor. Segera setelah diketahui bahwa kami diantar pulang maka masyarakat kampung itu ikut serta mengantar kami hijrah dari Punikasih ke Teratak.

Setelah rombongan yang ratusan jumlahnya berada hampir dekat dengan dusun Teratak, orang-orang kebingungan melihat ratusan obor dan lampu petromak. Mereka ramai bergemuruh dari sebelah timur. Mereka yang agak mengerti cepat-cepat berlari ke Pos Polisi memberitahukan keramaian tersebut. Alhamdulillah sekitar setengah kilometer kami dikawal polisi sampai di rumah.

Karena kepulangan mendadak, tidak pernah direncanakan, maka saya tidak punya rumah. Rumah yang saya tinggalkan tujuh tahun lalu sudah ditempati oleh orang tua saya. Setelah empat hari tiba-tiba datang jamaah dari Selusuh, Punikasih, Langga Lawe, Goak masing-masing membawa alat-alat bangunan rumah. Dalam satu minggu rumah darurat atau rumah bedek sudah bisa ditempati. Wa lillahil hamd ini semua berkat karamah Maulana al-Syaikh.

Sejak tahun 1979 itu saya berprofesi sebagai saudagar gabah di sela-sela mengajar di majlis taklim. Jumlah majlis ta’lim yang saya kelola kurang lebih sepuluh majlis.

Di tiap-tiap pengajian, orang-orang bertanya, “Ustadz betul plungguh jari saudagar gabah?” [Ustadz, benarkah Anda saudagar gabah?]

Saya jawab: “Ini perintah Bapak Maulana al-Syaikh.”

Setelah mereka mendengar jawaban saya, banyak yang siap menjual gabahnya kepada saya. Ada yang berkata, misalnya: “Kalau saya panen ustadz yang ambil gabah saya. Bayarnya bisa belakangan.” Akhirnya saya punya modal yang banyak. Usaha ekonomi ini perkembangannya diwajibkan untuk dilaporkan kepada Bapak Maulana al-Syaikh. Sampai pada tahun 1981, kira-kira sudah mencukupi ONH, lewat umrah saya dipanggil Maulana.

Beliau ngandika: “Jumrah, oah cukup kéé.. képéngméq ongkos Haji no?’.” [Jumrah, cukupkah ongkos untuk berhaji?]

Saya jawab: “Alhamdulillah berkat doa plungguh.”

Tanya Maulana: “Sai langanméq ?” [Lewat jasa siapa kamu berhaji?].

Dengan rendah hati saya matur: “Tuan Gurun Tiang Haji Z**** Abdul H****.”

Dengan lantang beliau menjawab bernada menggah (marah): “Ndak langan ie!. Genne lalo njual anak matan dengan loq skenik sini. Berangkat ante langan lain!!!”

[Jangan lewat dia!. Dia mau menjual mata orang oleh si Anu itu. Kamu berangkat saja lewat jasa yang lain!!!].

Beliau melanjutkan, “Salamku tipaq syaikh-syaikh siq araq léq Mekkah”

[Salam saya kepada para ulama yang ada di Makkah].

Dengan penuh keluguan, saya matur lagi kepada Bapak Maulana al-Syaikh, ”Sampun tiang setor separo timpak iye.” [Tiang sudah setor uang separuh padanya].

Lagi-lagi dengan nada yang lebih tinggi Maulana al-Syaikh menggah [marah]: “Islam ie kee?…mune Islam ne saur ie, mun ndéq ne Islam alur ne kaken-kaken ke.” [Islam-kah dia? Kalau muslim maka dia wajib mengembalikan uangmu. Kalau dia bukan muslim biarkan sudah dia makan].

Ternyata uang itu tidak diganti sampai saya kembali atau pulang dari Makkah.

Namun demikian, dengan cara yang tidak disangka-sangka, kami diajak berziarah ke Lombok Barat ke kelurahan Pagutan. Pada suatu hari ada jamaah yang akan menyetor ongkos tambang hajinya. Yang satu bernama Ustadz Muhammad Taqi dan yang satu bernama Lahmudin. Tiba-tiba di tengah jalan mereka berdua mengalami kecelakaan dan keduanya meninggal dunia, menemui ajalnya. Inilah yang kami ganti dan langsung mengubah (menyesuaikan) identitas. Saya menjadi Muhammad Taqi teman saya menjadi Lahmudin.

Pada tahun 1982, Bapak Maulana al-Syaikh memerintahkan kepada anggota NW untuk diam dan memberi isyarat untuk cenderung ke Partai Persatuan Pembangunan (Ka’bah), maka marahlah Golkar waktu itu. Bahkan mereka mengancam kami. Kalau tidak menjadi anggota Golkar, maka kami tidak boleh naik haji dan tidak boleh memasang spanduk haji di pinggir jalan. Bukan hanya itu, Kepala Desa Teratak, waktu itu mekel (tuan) Baiq Sa’diyah langsung mencari kami ke kantor Gubernur. Syukur-syukur nama kami sudah diganti lengkap dengan alamat sekaligus. Namun dia berpesan kepada tata usaha Gubernuran: “Kalau ada yang bernama Jumrah dan amaq Nasrudin dengan alamat desa Teratak tolong coret namanya, dia tidak boleh naik haji, karena dia tidak Golkar.”

Setelah resmi akan berangkat (naik haji), kami menghadap Maulana al-Syaikh sambil pamitan. “Bah, sai langan-méq payu.” [bah, melalui perantara siapa?].

Saya jawab: “ada keluarga di Pagutan Lombok Barat.”

“Auq-ke berangkat ante sampik salam te léq Syaikh-syaikh siq araq léq Mekkah.” [Baiklah, silahkan berangkat dan sampaikan salam kepada ulama Makkah].

“Dait Calon aran-méq due, Abdurrahman dait Fathurrahman. Laun suruq muridku ito Syaikh Wildan atau Lalu Adnan ngesahang aran-méq bareng salamku ito.” [Calon namamu adalah Abdurrahman dan Fathurrahman. Mohon kepada muridku di sana yang bernama Syaikh Wildan atau Syaikh Lalu Adnan untuk mengesahkan namamu, sampaikan salamku padanya]. Kemudian yang disetujui oleh Syaikh Adnan adalah Fathurrahman.

Sumber: Buku “Keagungan Pribadi Sang Pencinta Maulana” (Buku Kedua Trilogi Cinta Maulana)

News

Memberikan informasi akurat dengan gaya penulisan kekinian

Tinggalkan komentar

Artikel Terkait