NW ONLINEKarya Santri — Tanggal 6 Oktober 2025 menjadi momentum penting bagi Ma’had Darul Qur’an wal Hadis Anjani, Lombok Timur. Pada tanggal tersebut, lembaga tercinta, dimana dulu saya pernah duduk bersimpuh di depan para ulama, para masyiakh hafizahumullah, kini kembali menyelenggarakan kegiatan tahunan bertajuk Dzikral Hauliyah, yaitu acara penamatan santri dan santriwati yang telah menempuh proses pendidikan selama empat tahun ajaran penuh.

Kegiatan ini merupakan tradisi rutin yang sarat dengan nilai spiritual dan edukatif, sebagai bentuk rasa syukur atas capaian santri dalam menuntut ilmu-ilmu agama, seprti tafsir, fikih, ilmu bahasa (nahu, sarf, balagah, mantiq), hadis dan lain-lain. Tahun ini, jumlah santri yang ditamatkan mencapai 1.165 orang, sebuah angka yang menunjukkan pertumbuhan signifikan sekaligus menjadi indikator perkembangan lembaga secara kuantitatif.

Sebagai salah satu santri yang pernah menimba ilmu di Ma’had Darul Qur’an wal Hadis Anjani, tentu saya turut merasakan apa yang dirasakan oleh para santri dan santriwati yang tamat pada tahun ini. Rasa bahagia dan haru pasti ada, sebab penamatan merupakan buah dari proses panjang pembelajaran, perjuangan, dan kesabaran dalam menapaki jalan ilmu.

Namun di balik kebahagiaan tersebut, tersimpan tanggung jawab yang jauh lebih besar—tanggung jawab untuk terus menjaga kemurnian niat, mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, serta terus berproses menjadi pribadi yang berakhlak dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebab sejatinya, penamatan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari pengabdian yang sesungguhnya. Al-Magfurullah Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Madjid sebagai pendiri Mahad sering mengingatkan santri-santrinya bahwa ijazah termulia adalah ijazah masyarakat bukan ijazah mengkilat yang didapatkan di ma’had.

Selain tanggung jawab pengabdian, ada bentuk tanggung jawab lain yang sering kali terabaikan oleh sebagian kami yang telah menamatkan pendidikannya. Banyak di antara kami yang memaknai penamatan sebagai akhir dari proses belajar, seolah lembaran-lembaran kitab para ulama telah tertutup bersama selesainya masa studi di ma’had. Padahal, pandangan semacam ini menunjukkan kesalahpahaman terhadap hakikat thalabul ‘ilm yang sejatinya tidak mengenal batas waktu.

  Pendiri NW Populerkan Terminologi "HULTAH"

Tidak dapat disangkal bahwa pengabdian merupakan bagian mulia dari tradisi keilmuan pesantren, namun di sisi lain, upaya pengembangan intelektual melalui kajian, diskusi kritis, dan pendalaman kitab turats juga harus senantiasa dilanjutkan dan ditingkatkan. Tanpa komitmen terhadap kontinuitas intelektual ini, pengabdian hanya akan berhenti pada tataran praktik, tanpa disertai pembaruan pemahaman yang mampu menjawab tantangan zaman.

Sejauh pengamatan saya, sebagian dari kami para alumni ma’had, khususnya Ma’had Darul Qur’an wal Hadis, belum sepenuhnya mampu memberikan kontribusi nyata dalam bentuk kajian dan riset yang relevan dengan problematika umat di era modern saat ini. Banyak hal-hal baru muncul di tengah umat yang membutuh respon dari para intelektual dan cendikiawan.

Realitas ini menunjukkan adanya jarak antara tradisi keilmuan yang berkembang di ma’had dengan kebutuhan intelektual masyarakat kontemporer. Secara jujur harus diakui bahwa banyak di antara santri dan alumni masih merasa nyaman sebagai konsumen dari produk-produk hukum dan pemikiran yang telah ada, daripada ikut terlibat secara aktif dalam pergumulan intelektual untuk merumuskan solusi baru. Sikap pasif ini menjadikan peran santri terbatas pada pengulangan pengetahuan, bukan pada pengembangan gagasan yang kontekstual dan responsif terhadap perubahan zaman.

Selain itu, ada satu harapan yang juga tersimpan di hati saya paling dalam, harapan yang mungkin sulit saya sampaikan secara lisan, namun saya berharap melalui tulisan ini, harapan tersebut dapat dibaca dan dapat terwujud di kemudian hari. Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki peran dalam membina dan mencetak intelektual Muslim, khususnya di wilayah Lombok, Ma’had Darul Qur’an wal Hadis seharusnya memiliki akses yang luas terhadap bahan bacaan dan sumber literatur keislaman.

  Kisah Ibrahim dan Ruang Sejarahnya: Analisis Tafsir Al-An‘am (6):75–79 dalam Perspektif Hermeneutika Historis Dilthey

Idealnya, ma’had dapat mengembangkan perpustakaan yang representatif, yang tidak hanya berisi kitab-kitab klasik (turats), tetapi juga karya-karya kontemporer para ulama dan pemikir Muslim modern. Ketersediaan literatur yang memadai akan memperluas wawasan santri, menumbuhkan tradisi riset dan kajian kritis, serta memperkuat posisi ma’had sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam yang dinamis dan relevan dengan perkembangan zaman.

Momentum penamatan santri dan santriwati setiap tahun sebenarnya dapat dijadikan langkah strategis untuk mewujudkan “perpustakaan ma’had”. Dengan jumlah santri yang mencapai lebih dari seribu orang setiap tahunnya, potensi ini dapat dimanfaatkan melalui gerakan kolektif. Setiap santri, misalnya, diberikan tanggung jawab simbolik untuk meninggalkan kenangan intelektual berupa satu sumbangan kitab bagi perpustakaan ma’had.

Alternatif lain, pengumpulan kitab dapat dilakukan secara berkelompok, yaitu empat hingga lima orang untuk satu kitab, sehingga lebih ringan namun tetap memberikan dampak signifikan. Dalam hal ini, Senat Santri dapat berperan sebagai pelaksana (eksekutor) yang mengkoordinir gerakan tersebut agar dapat berjalan secara sistematis sesuai dengan yang diharapkan. Upaya semacam ini tidak hanya memperkaya khazanah literasi ma’had, tetapi juga menanamkan kesadaran kolektif di kalangan santri tentang pentingnya kontribusi intelektual bagi keberlanjutan lembaga, bangsa, dan agama.

Salah satu langkah yang bisa dilalui untuk mengembalikan peradaban umat Islam yang telah hilang adalah melalui keilmuan. Berkaca dari apa yang pernah digapai umat Islam di masa kejayaannya, yaitu pada masa Bani Abbasiyah yang dimulai dari kepemimpinan al-Mahdi (775–785 M), al-Hadi (775–786 M), Harun Ar-Rasyid (786–809 M), al-Ma’mun (813–833 M), al-Mu’tashim (833–842 M), al-Watsiq (842–847 M), dan al-Mutawakkil (847–861 M), keilmuan menjadi salah satu tolak ukur kejayaan umat Islam.

  Lirik Lagu Mars Dzikrol Hauliyyah MDQH NW Ke-59

Ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu bisa dipetakan ke dalam dua bagian utama, yaitu disiplin ilmu keislaman dan ilmu umum. Disiplin ilmu keislaman terdiri dari ilmu kalam, fikih, tasawuf, dan hadis. Sedangkan ilmu umum yang berkembang saat itu sangat banyak, di antaranya astronomi, kedokteran, matematika, dan juga ilmu-ilmu sosial.

Peradaban ilmu saat itu bisa dicapai oleh Daulah Bani Abbasiyah karena melakukan beberapa hal progresif, seperti misalkan mendirikan Bait al-Hikmah (perpustakaan) sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan, memberikan gaji yang besar kepada para ilmuwan, menciptakan keterbukaan dan memberikan kebebasan akademik kepada para ilmuwan. Semua orang diberikan kebebasan dalam mengeksplorasi nalar kritis dan kreativitasnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga budaya debat, tukar pikiran, dan kritik tumbuh subur dan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan.

Sebagai akhir dari tulisan ini: ucapan terima kasih yang tiada hingga dari al-fâqir al râji ila Allâh al-Qadîr dan dari hati yang terdalam untuk para masyaikh yang telah mengajarkan saya. Para Masyaikh yang telah meninggal dunia semoga ditempatkan di tempat para kekasih-Nya, dipenuhi dengan cucuran rahmat dan kasih sayang-Nya, dan yang masih hidup semoga senantiasa dalam keadaan sehat wal’afiat dan dalam lindungan-Nya. Baca berita di Gesit ID

Biodata Penulis:

Nama : Muhammad Ramli Saldiman

Email : rsaldiman@gmail.com

Alumni MDQH NW Anjani Angkatan 48 |

Punya karya tulis? Saatnya dipublikasikan! Gesit kirim tulisan Anda dan biarkan NW Online membagikannya ke seluruh Nusantara.
Kontak WA: 08567892305

100% LikesVS
0% Dislikes