NW ONLINE – Pada semester tiga ini, khususnya di Program Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI), kami belajar diskursus fatwa yang diampu oleh Dr. Mukti Ali, salah satu intelektual muda NU (Nahdlatul Ulama). Di sesi terahir kami membahas hukm talwîs al-bi’ah (hukum mencemari lingkungan) dengan merujuk pada hasil fatwa ulama Mesir yang tergabung dalam lembaga dar al-ifta’ al-misriyyah.
Setelah mendatangkan ayat al-Qur’an, hadis dan kawaid fiqhiyyah, Dar al-Ifta’ al-Misriyyah menegaskan kewajiban menjaga dan memelihara lingkungan (Nasr Farid Wasil, 2010: 274-275). Hal ini menunjukkan bahwa Islam sebenarnya tidak hanya fokus pada ritual ibadah semata seperti shalat, puasa, haji dan ibadah mahdhah lainnya yang brhubungan dengan Tuhan, tetapi juga mencakup dimensi etis dan sosial yang luas.
Islam memberikan perhatian besar terhadap hubungan manusia dengan sesamanya (ḥabl min al-nās), serta dengan lingkungan hidup secara keseluruhan meliputi alam, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sebagai manifestasi dari tanggung jawab khalifah di muka bumi.
Dalam konteks Indonesia, gagasan serupa memperoleh perhatian serius melalui kebijakan dan gerakan keagamaan yang digagas oleh Kementerian Agama Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Prof. Nasaruddin Umar. Melalui berbagai program yang dikembangkan sebagai langkah progresif yang diambil, seperti Green Religion dan Masjid Ramah Lingkungan, Kementerian Agama mendorong integrasi nilai-nilai keagamaan dengan kesadaran ekologis.
Prof. Nasaruddin Umar, yang juga dikenal sebagai ulama dan akademisi dengan pemikiran moderat, menekankan bahwa spiritualitas Islam harus diwujudkan dalam bentuk kepedulian nyata terhadap bumi sebagai amanah Tuhan. Upaya ini merupakan wujud konkret dari ekoteologi Islam, yaitu pandangan teologis yang menempatkan manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan ekologis sebagai bagian dari ibadah sosial (‘ibādah ijtimā‘iyyah).
Kritik terhadap Orientasi Hukum Normatif dalam Praktik Keberagamaan
Islam merupakan agama yang sangat komprehensif dan universal. Ajaran Islam tidak hanya berhenti pada aspek ritual seperti salat, puasa, dan haji, tetapi lebih luas mencakup dimensi sosial, moral, dan ekologis yang luas. Namun, fenomena yang kerap muncul dalam masyarakat Muslim modern adalah kecenderungan memahami Islam secara parsial dan normatif, yakni hanya menekankan pada aspek hukum ibadah (ḥukm ta‘abbudī) tanpa memperhatikan dimensi praksisnya dalam kehidupan sosial.
Orientasi keberagamaan yang bersifat hukum normatif ini menjadikan banyak umat Islam berhenti pada tataran “apa yang seharusnya” (das sollen), tanpa berusaha mengaitkannya dengan realitas empiris (das sein). Akibatnya, ajaran Islam sering kali dipahami secara tekstual dan legalistik, terlepas dari konteks sosial dan ekologis tempat ajaran itu seharusnya diimplementasikan. Cara beragama seperti ini dapat menimbulkan jarak antara ajaran normatif Islam dan dinamika kehidupan nyata, sehingga Islam tampak seolah hanya mengatur aspek ritual-formal, bukan sistem nilai yang menyentuh dimensi kemanusiaan dan etika moral.
Selain itu, sebagian ceramah-ceramah yang disampaikan di mimbar-mimbar, majlis-majlis hanya terhenti pada hukum halal-haram tanpa ada upaya menyentuh dimensi etika moral tersebut. Akibatnya, tidak sedikit kita lihat umat Islam jauh dari nilai-nilai dan ruh Islam itu sendiri. Contoh kecil yang jarang sekali tersentuh adalah kepekaan umat terhadap lingkungan alam sekitar. Dalam al-Qur’an secara tegas Allah melarang umat manusia melakukan kerusakan, bahkan Allah mengancam pelaku kerusakan dengan dibunuh, dipancung atau dipotong tangannya (QS. Al-Ma’idah/5: 33.
Begitu juga dalam hadis, Rasulullah mengingatkan agar senantiasa melestarikan lingkungan dengan menjaga kebersihannya (HR. Muslim), menanam pohon dan mejaga kelestarian alam (HR. Muslim), disamping edukasi untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya merawat dan menjaga lingkungan. Namun anehnya tidak sedikit dari kita, umat Islam yang justru melakukan eksploitasi terhadap alam sekitar; perusakan dimana-mana, penebangan pohon yang tidak terkendali atau melakukan hal-hal kecil namun memiliki dampak yang sangat besar seperti membuang sampah sembarangan.
Hal ini bisa kita temukan di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, salah satunya Indonesia atau dalam domain yang lebih kecil yaitu tempat tinggal kita. Seorang tokoh revolusioner dari mesir, Muhammad Abduh, pernah mengatakan: “الإسلام محجوب بالمسلمين” bahwa Keindahan Islam terhalang oleh perbuatan kaum muslimin sendiri, atau ucapan lainnya yang mengatakan “ Saya pergi ke Barat, Saya melihat Islam di sana tapi tidak melihat Muslim.
Saya pergi ke negara-negara Arab, Saya melihat Muslim di sana tapi tidak melihat Islam. Ucapan ini merupakan kritik dan tamparan bagi umat Islam yang acuh dan bahkan jauh meninggalkan ajaran Islam sendiri. Sementara di negara-negara Eropa yang notabene nya non-muslim, jsutru memperlihatkan apa ayang diajarkan dalam Islam.
Tentu ini bukan berbicara tentang ibadah ritual yang hubungannya dengan Tuhan, namun ini berkaitan dengan muamalat, yaitu perkara-perkara dunia yang mana padanya tersemat nilai dan spirit Islam itu sendiri. Abduh tidak berbicara tentang ibadah shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya, tapi Abduh berbicara tentang nilai universal dari Islam, yaitu menyangkut hubungan dengan sesama manusia dan makhlut Tuhan lainnya.
Konsep Al-Qur’an Tentang Alam, Manusia dan Tanggung Jawab Lingkungan
Dalam al-Qur’an surat al-fatihah, Allah menegaskan bahwa dirinya adalah rabb al-‘alamin. Kata rabb berasal dari akar kata r-b-b yang berarti pemilik, pengatur, atau pemelihara (Ibn Manzur, 1546). Sementara al-‘alamin merupakan bentuk jamak dari kata ‘ālam, yang berarti kullu ma siwallah (segala sesuatu selain Allah), atau seluruh makhluk dan alam semesta dalam berbagai tingkat wujud, termasuk manusia, hewan, tumbuhan, malaikat, jin, dan seluruh sistem kosmik.
Maka berangkat dari makna dasarnya, frase rabb al-‘alamin dapat diterjemahkan sebagai Pemilik seluruh makhluk dan alam semesta. Artinya bahwa alam semesta ini merupakan milik Tuhan, yang tidak ada satupun berhak untuk merusaknya dalam bentuk dan cara apapun.
Sedangkan jika dilihat Secara teologis, Al-Qur’an memosisikan alam sebagai āyāt atau tanda-tanda kebesaranNya (āyātu-llāh) yang bersifat komunikatif. Alam dapat dikatakan sebagai wahyu ketiga setelah wahyu teks, yang mengajak akal untuk merenung (tafakkur) dan mengakui keteraturan kosmik sebagai bukti tauhid. Dari sisi antropologis-etis, manusia diberikan mandat sebagai khalīfah (wakil/pemegang amanah) yang bertanggung jawab mengelola, menjaga dan melestarikan bumi. Mandat ini bersifat normatif dan mengikat tindakan manusia bukan izin eksploitasi sehingga etika lingkungan dalam perspektif al-Qur’an menitikberatkan keseimbangan (mīzān), pemeliharaan (ḥifẓ), dan larangan kerusakan (fasād) yang berakar pada prinsip keadilan terhadap makhluk lain.
Di samping itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur penggunaan sumber daya seperti air, tanah, dan tumbuhan serta larangan terhadap pemborosan (isrāf) dan perintah untuk berbagi rezeki, membentuk fondasi normatif bagi terciptanya kebijakan publik dan praktik sosial yang berkelanjutan.
Nilai-nilai tersebut membutuhkan pendekatan penafsiran yang kontekstual agar prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dapat diterjemahkan secara operasional ke dalam regulasi lingkungan modern, seperti pengelolaan limbah, konservasi keanekaragaman hayati, serta pembatasan terhadap aktivitas eksploitasi yang bersifat ekstraktif.
Dalam kerangka pemeliharaan lingkungan, setiap elemen masyarakat memiliki tanggung jawab kolektif yang saling melengkapi: pemuka agama berperan menyampaikan etika ekologis Qur’ani kepada jamaahnya, pemerintah merumuskan kebijakan yang berbasis pada prinsip keberlanjutan, sementara masyarakat, termasuk guru dan peserta didik, bertugas membangun budaya sadar lingkungan melalui pendidikan dan praktik keseharian. Sehingga apa yang menjadi cita-cita bersama dapat terealisasikan karena pemeliharaan lingkungan hidup tidak hanya menjadi kewajiban moral individual, tetapi juga agenda struktural yang menuntut sinergi antar seluruh komponen sosial. (Gesit.ID)
Biodata Penulis:
Nama : Muhammad Ramli Saldiman
Email : rsaldiman@gmail.com
Alumni MDQH NW Anjani Angkatan 48 |
Punya karya tulis? Saatnya dipublikasikan! Gesit kirim tulisan Anda dan biarkan NW Online membagikannya ke seluruh Nusantara.
Kontak WA: 08567892305

