Irsal Nabi Muhammad dalam Pandangan Mufassir dan Orientalis

Para mufassir memberikan penjelasan beragam mengenai konsep irsal Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil-‘âlamîn. Dalam tafsir klasik, seperti al-Ṭhabari menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan universalitas risalah Nabi, bukan hanya terbatas pada orang beriman semata, namun juga mencakup semua makhluk. Dalam tafsirnya, Al-Thabari mendatangkan banyak riwayat, diantaranya adalah riwayat yang mengatakan bahwa frase al-‘âlamûn dalam ayat tersebut ditujukan hanya kepada orang yang beriman dan membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Namun di akhir penjelasannya, al-Thabari menegaskan bahwa riwayat yang paling kuat adalah riwayat dari Ibn Abbas yang menetapkan irsâlnya Nabi Muhammad sebagai rahmat mencakup seluruh alam, mukmin atau kafir. Irsalnya Nabi Muhammad kepada Mukmin dengan memberikannya petunjuk, sehingga keimanan yang ada pada diri orang mukmin serta mengamalkan segala apa yang datang darinya, akan mengantarkannya masuk ke dalam surga. Adapun kepada orang kafir, hadirnya Nabi Muhammad telah menjadi sebab terhindarnya dari azab yang disegerakan di dunia, yang dahulu pernah ditimpakan kepada umat-umat yang mendustakan rasulnya sebelum diutusnya Nabi Muhammad. ( Al Thabari: 2001, 440)

  Kisah Ibrahim dan Ruang Sejarahnya: Analisis Tafsir Al-An‘am (6):75–79 dalam Perspektif Hermeneutika Historis Dilthey

Seperti halnya Al-Thabari, beberapa mufassir setelahnya, seperti al-Qurthubi, Ibn Katsir, Al-Baghawi memberikan penjelasan yang sama dengan mendatangkan riwayat yang tidak jauh berbeda, yaitu riwayat dari Ibn Abbas. Berbeda halnya dengan Al-Razi, ia memberikan rincian yang cukup detail dan menarik, tidak hanya teoretik namun juga argumentatif. Dalam penjelasannya, Al-Razi membagi bentuk rahmat pada QS. al-Anbiya’: 107 ke dalam dua bagian, yaitu rahmat dalam urusan agama dan dunia. Adapun dalam urusan agama, al Razi berpandangan bahwa Muhammad diutus untuk memberikan petunjuk di saat manusia berada dalam keadaan jahiliah dan kesesatan. Tidak hanya itu,  Ahli Kitab yang hidup pada zaman tersebut pun berada dalam kebingungan tentang agama mereka yang disebabkan karena terputusnya wahyu dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kitab-kitab pegangannya. Sedangkan rahmat yang menyangkut urusan dunia, berkat agama yang dibawa Nabi Muhammad, mereka terhindar dari peperangan, pertikaian, serta kehinaan. (al-Razi: 1981, 230)

Selain itu, dalam  tafsirnya Mafatih Al-Ghaib,  Al-Râzî menanggapi kritik Mu‘tazilah dengan menegaskan bahwa keberadaan Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil-‘âlamîn tidak harus dipahami dalam satu bentuk yang sama bagi orang beriman dan orang kafir. Menurutnya, rahmat bagi kaum beriman tampak jelas dalam bentuk petunjuk, syariat, dan jalan menuju surga. Adapun bagi orang kafir, rahmat itu terwujud dalam tertahannya azab kebinasaan total (‘adzâb al-istishâl) yang biasanya menimpa umat-umat terdahulu, serta dalam kesempatan yang terbuka untuk menerima kebenaran. Al-Râzî juga menolak asumsi Mu‘tazilah yang menyatakan bahwa perintah iman kepada Abu Lahab adalah mustahil karena Allah sudah mengetahui ia tidak akan beriman. Baginya, pengetahuan Allah tentang kekafiran Abu Lahab tidak menghalangi adanya sisi rahmat dalam pengutusan Nabi, bahkan jika Allah menciptakan kufur dalam diri orang kafir, hal itu tetap tidak meniadakan adanya bentuk rahmat lain. Selain itu, klaim Mu‘tazilah bahwa nikmat dunia sudah dinikmati orang kafir sebelum diutusnya Nabi pun dijawab dengan argumen bahwa setelah diutusnya Nabi, orang kafir memang diliputi rasa takut akan azab, tetapi justru ketika azab itu tidak diturunkan karena kehadiran Nabi, hal itu menjadi bentuk rahmat tersendiri. Dengan demikian, al-Rāzī menegaskan bahwa rahmat Nabi ﷺ bagi seluruh alam bersifat relatif sesuai dengan posisi masing-masing, tidak harus seragam sebagaimana dipaksakan oleh Mu‘tazilah. (al-Razi: 1981, 231)

  Kisah Ibrahim dan Ruang Sejarahnya: Analisis Tafsir Al-An‘am (6):75–79 dalam Perspektif Hermeneutika Historis Dilthey

Sementara dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab memaknai kata rahmat dengan cakupan yang lebih luas, tidak hanya sebagai kelembutan atau kasih sayang, tetapi mencakup segala bentuk kemaslahatan yang dibawa risalah Islam, seperti ketenangan batin, keadilan sosial, perlindungan terhadap hak-hak makhluk hidup, hingga kepedulian pada lingkungan. Dalam pandangan Shihab, Nabi Muhammad tampil bukan sekadar penyampai wahyu, melainkan personifikasi ajaran itu sendiri. Sedangkan kata al-alamin sendiri memiliki arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna maupun terbatas. Jadi, ada alam manusia, alam malaikat, alam jin, alam hewan, dan alam tumbuh-tumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa semua makhluk itu memperoleh rahmat dengan kehadiran Nabi Muhammad membawa ajaran Islam. (Qurasih Shihab: 2005, 500).

100% LikesVS
0% Dislikes