Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai penutup para nabi dengan misi yang melampaui sekat ruang, waktu, dan komunitas tertentu. Al-Qur’an menegaskan hal ini dalam QS. al-Anbiyā’: 107, “wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil-‘ālamīn”, yang menempatkan beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ayat tersebut menegaskan bahwa risalah kenabian Muhammad bersifat universal, mencakup manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, dan seluruh jagat raya. Universalitas ini menunjukkan bahwa kehadiran Rasulullah bukan hanya relevan bagi masyarakat Arab abad ke-7, melainkan juga membawa pesan kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan bagi seluruh umat di berbagai zaman.

Dalam konteks tafsir, para ulama klasik hingga modern menguraikan universalitas risalah ini dalam berbagai dimensi. Sebagian menekankan aspek hidayah bagi orang beriman, tertahannya azab bagi orang kafir, hingga terbukanya ruang keadilan sosial dan kemaslahatan bersama. Pemaknaan tersebut memperlihatkan bahwa misi kenabian Muhammad ﷺ tidak sekadar terbatas pada aspek ritual dan teologis, tetapi juga menyentuh persoalan sosial, etika, dan kosmik. Dengan demikian, QS. al-Anbiyā’: 107 menjadi dasar penting untuk memahami Nabi Muhammad sebagai figur universal yang membawa rahmat bagi seluruh ciptaan.

  Kisah Ibrahim dan Ruang Sejarahnya: Analisis Tafsir Al-An‘am (6):75–79 dalam Perspektif Hermeneutika Historis Dilthey

 

Makna Kebahasaan QS. al-Anbiyā’: 107: Irsâl Nabi Muhammad sebagai Rahmatan lil-‘Ālamīn

Secara kebahasaan, frasa “wa mâ arsalnâka illâ raḥmatan lil-‘âlamîn” menggunakan bentuk ḥaṣr (pembatasan) yang menegaskan bahwa pengutusan Nabi Muhammad hanya terfokus pada satu misi utama, yaitu sebagai rahmat. Kata raḥmah dalam bahasa Arab mencakup arti kasih sayang, kelembutan, dan ampunan. Selain itu, kata rahmah juga mengandung makna kebaikan dan nikmat, seprti yang terdapat dalam surah QS. Yunus ayat 21  وَاِذَآ اَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً مِّنْۢ بَعْدِ ضَرَّاۤءَ مَسَّتْهُمْ “Apabila Kami memberikan suatu rahmat kepada manusia setelah bencana menimpa mereka”. (Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah: 2004, 335).

Sementara kata al-‘âlamîn berarti seluruh makhluk yang ada, bukan hanya manusia, melainkan juga jin, malaikat, hewan, tumbuhan, bahkan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa irsal (pengutusan) Nabi Muhammad tidak hanya ditujukan kepada manusia dan jin semata yang disebut sebagai tsaqalain, namun juga kepada mahluk Allah yang lain, bahkan-jika melihat dari sisi alam arwah- pendapat yang kuat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad juga di utus kepada semua Nabi dan umat-umat terdahulu termasuk ke dirinya sendiri karena ruhnya Muhammad diciptakan sebelum ruhnya semua makhluk. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Allah dalam QS. Saba’ ayat 28 dan QS. Al-A’raf ayat 158 (Nawawi al-Bantani: 1996, 108).

  Kisah Ibrahim dan Ruang Sejarahnya: Analisis Tafsir Al-An‘am (6):75–79 dalam Perspektif Hermeneutika Historis Dilthey

Para ulama berbeda pendapat mengenai sifat irsâl-nya Nabi Muhammad terhadap makhluk selain manusia dan jin, khususnya malaikat. Al-Ramli menyebutkan bahwa pengutusan Nabi Muhammad kepada malaikat sifatnya adalah irsâl tasyrîf (pemuliaan) bukan irsâl taklîf (pembebenan syariat), artinya para malaikat tidak dibebani dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad, melainkan mendapatkan kemulian disebabkan diutusnya beliau. Mereka tidak diperintahkan melakukan sesuatu apapun sebagaimana juga tidak ada larangan untuk meninggalkannya.

Sebaliknya, Ibnu Hajar yang mengikuti pendapat ulama muhaqiqin seperti as-Subki mengatakan bahwa malaikat sama halnya seperti manusia dan jin, yaitu menerima irsâl taklîf, artinya malaikat juga Terkena pembebanan syariat, meskipun pembebanan tersebut sesuai dengan apa yang pantas dan layak bagi mereka. Ibnu Hajar menguatkan pendapatnya dengan mengatakna bahwa di antara malaikat ada yang diperintahkan untuk ruku’, sujud dan perintah lainnya hingga hari kiamat. Namum, pendapat yang paling benar dalam pandangan al-Bayjuri adalah pendapat yang disampaikan oleh al Ramli, yaitu bersifat irsâl tasyrîf (pemuliaan). (Al-Bayjuri: 2002, 150). Sedangkan makhluk yang lain, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, para ulama sepakat bahwa pengutusan Nabi Muhammad bersifat irsâl tasyrîf yaitu pemulian semata.

100% LikesVS
0% Dislikes